Burnout, Penyakit Saat Kerja Dirumah Manusia memang tak pernah puas. Dulu saat dunia disibukkan dengan kemacetan pagi hari demi ke kantor tepat waktu, banyak yang mengeluh sambil bertanya, tak bisakah bekerja dari rumah saja?
Kini sudah hampir dua tahun lamanya, para pekerja mendapat keinginannya untuk bekerja dari rumah, meskipun itu gara-gara pandemi.

Awalnya, kerja dari rumah pasti sesuai bayangan. Bisa sedikit santai, bisa sambil tidur-tiduran, pakai daster atau piyama, dan tak terjebak macet yang melelahkan. Senang? Pasti.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan mungkin masih terasa menyenangkan. Setelahnya? Panggilan meeting virtual yang bertubi-tubi, jam kerja yang makin tak terbatas, rentetan pesan teks soal pekerjaan yang tak kelar-kelar, ditambah berbagai urusan domestik di rumah yang juga harus diselesaikan. Pusing tujuh keliling.

Nyatanya buat sebagian orang, bekerja dari rumah tak seenak bayangan awal, makin tak ada waktu untuk bersantai, sebaliknya makin stres bahkan burnout. Akan tetapi, burnout bukan cuma gara-gara switching kerja dari kantor dan pindah ke rumah beserta segala tuntutannya, tapi juga gara2 kebiasaan workaholic atau hustle culture dalam diri.

Hustle culture
Pernah mendengar istilah ini? Sosial media beberapa waktu lalu menggemakan istilah ini. Tapi apa sebenarnya hustle culture?

Hustle culture adalah sebuah gaya hidup atau fenomena yang muncul karena perasaan gila kerja atau workaholic. orang dengan gaya hidup hustle culture merasa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya perlu meluangkan sedikit waktu untuk istirahat. Tak heran hustle culture juga disebut gila kerja.

Dalam laman Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, orang yang punya kecenderungan gaya hidup ini akan beranggapan bahwa bekerja adalah jalan satu-satunya menuju kesuksesan. Jam kerja pun sering kali melebihi waktu normal, dan lembur sudah jadi jadwal wajib seminggu.

Psikolog dari Riliv, Graheta Rara Purwasono menyebut bahwa ada banyak hal pencetus hustle culture ini, termasuk tuntutan hidup, keinginan untuk punya uang lebih banyak, sampai quotes motivasi bekerja yang kerap disalahartikan. Hati-hati kalau sudah begini, bisa-bisa kena mental.

Baca Juga :  Kode Kupon The Spike Volleyball Story 25 Maret 2024 Terbaru

Hustle Culture alias si workaholic ini memang tak kenal tempat. Bahkan saat WFH, seringkali lembur dan kerja tanpa istirahat pun dilakukan demi menyelesaikan pekerjaannya, bahkan sampai kurang tidur, tak mandi, tak makan.

Jika terus begini, hustle culture bisa membuat Anda jadi stres, asam lambung naik, bahkan sampai burnout.

Burnout adalah kondisi saat seseorang merasa lelah berkepanjangan karena stres kerja yang berat. Burnout dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang.

“Dalam teorinya burnout itu keadaan lelah emosional, fisik dan mental. Orang mengalami stres berulang dan berkepanjangan. Kalau stresnya kronis, panjang, jadi burnout,” kata psikolog Firman Ramdhani dikutip dari CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Berdasar survei sederhana yang dilakukan CNNIndonesia.com melalui twitter bahkan menyebut 77,3 persen orang pernah alami burnout.

Apa saja yang jadi biang keroknya? Sekitar 46,7 persen menyebut keharusan standby alias siap siaga 24 jam untuk kerja, sekitar 38,7 persen menyebut banyaknya limpahan pekerjaan, dan 14,6 persen menyebut gara-gara meeting yang datang silih berganti.

Hanya saja yang harus disadari, tak semua orang punya gejala burnout yang sama. Ada yang kehilangan motivasi kerja, kurang semangat, mudah lelah, benci pekerjaannya, takut bekerja, sulit fokus, susah konsentrasi dan berujung pada performa kerja yang menurun.

Luisa (bukan nama sebenarnya) mengalami hal burnout saat bekerja di masa pandemi.
“Mungkin ini efek pandemi dan wfh membuat saya jenuh bekerja. Maklum saya yang seorang ekstrovert dan gemar pergi ke sana ke mari usai pulang kerja harus ‘dikurung’ di rumah seharian. Awalnya berat karena di rumah, hanya suami yang bisa saya temui,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Ketika Luisa yang masih berusaha menyesuaikan diri untuk masuk ke mode ambivert di rumah, deadline pekerjaan dan tekanan dari si bos makin menjadi saat wfh. Sikap bos dianggapnya makin semena-mena.

“Ketika jam kerja di rumah, rentetan tuntutan yang bertubi-tubi di ponsel terus muncul. Semua isinya perintah!

“Yang parah, dia menuntut semua orang untuk dengan cepat membalas pesannya, selagi mereka bekerja. Jika dalam 1-2 menit tak dibalas, dia pun marah dan meminta perhatian. Belum lagi urusan politik kantor. Energi saya seperti tersedot habis untuk semua drama di kantor.”

Baca Juga :  Contoh Soal Tes Psikotes Kerja 2024 Lengkap Beserta Kunci Jawabannya

Semua ini membuat Luisa burnout. Tak ada lagi pekerjaan yang berakhir baik untuknya. Tak ada lagi semangat untuk bekerja. Sampai pada akhirnya, ada satu titik dia merasa kondisi mentalnya sudah sedikit terganggu.

“Kalau sudah Jumat, mood saya berubah jadi senang karena mau weekend, tapi ketika Minggu malam saya berubah jadi seperti orang gila. Teriak-teriak sendiri, anxious. Saya takut menghadapi Senin. Saya ketakutan.”

“Pikiran saya tak keruan, kepala saya panas serasa mau pecah. Saya sempet little depressed, beberapa malam saya berteriak-teriak histeris. Menangis sejadi-jadinya. Mungkin jika tetangga dengar, mereka pikir saya alami KDRT.”

Usai berjibaku dengan burnoutnya, dia mulai menata hidupnya kembali. Setelah berpikir masak-masak, dia memutuskan untuk resign dari kantornya.

Pertolongan pertama pada burnout
Sekat-sekat yang mulai kabur antara kehidupan pribadi dan juga pekerjaan saat WFH memang harus kembali ditegakkan.

“Untuk menghindari burnout, cara yang penting dilakukan adalah menghindari hal-hal yang bisa membuat stres,” kata Psikolog Industri Organisasi, Kiky Dwi Saraswati.

Hanya saja hal ini tak serta merta bisa dilakukan. Kedua belah pihak, antara kantor dan pekerja harus bersinergi satu sama lain untuk menciptakan keseimbangan kerja.

Tempat kerja dapat menetapkan jam kerja yang sehat untuk karyawan, memberikan pekerjaan yang sewajarnya, mengapresiasi pekerjaan karyawan, hingga menyediakan konseling dengan psikolog untuk karyawan.

Nat (bukan nama sebenarnya) juga punya masalah mental di kantornya. Sayang, ketika dia mencari bantuan pertama, kantor tak bisa memfasilitasi kebutuhan mentalnya lewat tenaga profesional. Namun, dia masih beruntung, atasan-atasannya memberi dispensasi soal pekerjaan karena masalah yang dihadapinya. Kawan Nat yang juga mengalami masalah serupa sempat diberi izin untuk unpaid leave 3 bulan untuk menenangkan diri dari tekanan pekerjaan yang diterimanya.

“Ini karena saya udah ngerasain betapa enggak enak ketika mental udah kena, jadi menurut saya penting banget sih, buat kantor apa pun yang tekanannya cukup tinggi, untuk punya psikolog profesional demi kesejahteraan mental. Karena yang sakit bukan hanya fisik, tapi mental juga,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Baca Juga :  Kode Redeem Game Top War Battle 25 Maret 2024 Terbaru Valid, Simak Tips Cara Main

“Soalnya, yang gitu-gitu kan bahkan bisa dimulai dari stres kecil. Bakal lebih baik kayaknya kalau si stres kecil itu bisa ditangani sama layanan psikologi di kantor masing masing, biar enggak makin parah. Lagi pula, kalau karyawan mentalnya sehat, kerjanya akan bagus, dan berdampak sama kantor juga.”

Nat sendiri menambahkan sebenarnya ada banyak pekerja yang sudah mulai aware denga kesehatan mental mereka, namun terkadang masih suka menganggap enteng masalah atau takut karena stigma yang bakal mereka terima dari rekan kerja, termasuk dianggap ‘lemah’ dan ‘lebay.’

“Kadang curhat ke teman itu ya jadinya cuma sekadar curhat aja, enggak ada solusinya. Jadi, kalau di kantor ada layanan psikologi, seenggaknya itu bisa jadi pertolongan pertama dulu lah buat kita kita yang cuma stres stres kecil posisi psikolog itu netral. jadi, gue ngerasa bisa ngomong apa aja gitu, tanpa khawatir akan dinilai ini itu.”

Sementara itu, dari sisi pekerja, mereka juga wajib punya ‘kehidupan lain’ selain bekerja. Misalnya, makan bersama keluarga atau teman, melakukan hobi, dan lainnya setelah waktu kerja selesai. Tidur juga bisa jadi pelarian yang baik untuk terbebas dari pekerjaan.

Selain itu, mulailah hari dengan time management yang tepat. Mulai bekerja tepat waktu dan selesai juga tepat waktu.

Membagi tugas dalam pekerjaan juga akan meringankan pekerjaan Anda. Jangan ragu untuk berbagi tugas atau mendelegasikan tugas kepada orang lain baik di kantor maupun di rumah.

Burnout, Penyakit Saat Kerja Dirumah

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/